Sekolah Rusak di Daerah Terpencil: Ironi di Balik Besarnya Anggaran Pendidikan
Pendidikan adalah investasi utama sebuah bangsa, dan konstitusi Indonesia secara tegas mengamanatkan alokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor ini. Namun, di balik besarnya angka triliunan rupiah yang digelontorkan, ironi yang menyakitkan masih menghantui wilayah terpencil: masih banyaknya Sekolah Rusak yang membahayakan keselamatan siswa. Kondisi Sekolah Rusak di daerah-daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) menunjukkan adanya kesenjangan serius dalam distribusi dan pengawasan anggaran, yang secara langsung mengancam kualitas dan akses pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
Permasalahan Sekolah Rusak ini bukan hanya tentang atap bocor atau lantai yang ambles, tetapi juga mengenai minimnya fasilitas dasar seperti sanitasi dan air bersih. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) per awal tahun 2025, tercatat lebih dari 40.000 ruang kelas di jenjang SD dan SMP di seluruh Indonesia berada dalam kondisi rusak berat dan sangat membutuhkan rehabilitasi segera. Mayoritas sekolah-sekolah ini berada di luar Jawa dan Sumatera. Sebagai contoh spesifik, di SD Negeri 3 Mangkutana, Sulawesi Tengah, para siswa terpaksa belajar di bawah atap yang ditopang bambu darurat sejak September 2024 karena menunggu dana rehabilitasi yang tak kunjung turun.
Hambatan Birokrasi dan Pengawasan Dana
Salah satu akar masalah dari kondisi Sekolah Rusak ini adalah panjangnya rantai birokrasi dan lemahnya pengawasan dalam penyaluran dana. Meskipun alokasi dana perbaikan sudah ada, proses tender, pencairan, hingga pelaksanaan proyek seringkali terhambat oleh prosedur yang rumit di tingkat pemerintah daerah. Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Pendidikan yang seharusnya menjadi sumber utama perbaikan, terkadang terlambat dicairkan atau digunakan tidak sesuai peruntukan.
Fenomena ini bahkan memicu potensi tindak pidana korupsi. Kejaksaan Tinggi Provinsi Maluku Utara pada Kamis, 5 Juni 2025, menetapkan dua pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten X (nama fiktif) sebagai tersangka kasus korupsi dana rehabilitasi sekolah senilai Rp 3,5 Miliar. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa anggaran besar tidak otomatis menjamin perbaikan fisik sekolah jika integritas dan pengawasan lemah.
Solusi dan Keterlibatan Masyarakat
Untuk mengatasi masalah Sekolah Rusak secara efektif, diperlukan solusi yang multi-sektoral. Kemendikbudristek telah menginisiasi program Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik yang bertujuan mempersingkat rantai birokrasi dan mempercepat proses pembangunan fisik. Selain itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melalui unit Bhabinkamtibmas dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di tingkat daerah diinstruksikan untuk meningkatkan pengawasan proyek-proyek pembangunan sekolah.
Peran aktif masyarakat dan komite sekolah juga sangat penting. Di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masyarakat setempat berinisiatif membentuk tim swadaya untuk memantau langsung proyek renovasi di SMP Satu Atap pada awal tahun 2025, memastikan bahan bangunan yang digunakan sesuai spesifikasi dan anggaran. Dengan adanya pengawasan yang ketat dari berbagai pihak dan penyederhanaan prosedur pencairan dana, diharapkan ironi Sekolah Rusak di tengah besarnya anggaran pendidikan dapat segera diakhiri, memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan hak belajar di lingkungan yang aman dan layak.
